Filsafat Pendidikan: Platon

“Knowledge is the food of the soul; and we must take care, my friend, that the Sophist does not deceive us when he praises what he sells, like the dealers wholesale or retail who sell the food of the body; for they praise indiscriminately all their goods, without knowing what are really beneficial or hurtful.” – Plato, Protagoras: 313c, Benjamin Jowett, trans.

Rabu (7/2) lalu aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pertemuan pertama dari seri belajar “Kelas Filsafat Pendidikan” yang diadakan di Studio Sang Akar. Tema pertemuan pertama ini adalah “Filosofi Pendidikan Platon”. Materi kelas ini dibawakan oleh Romo A. Setyo Wibowo (Dosen STF Driyarkara).

Catatan Kelas Berikutnya: Filosofi Pendidikan: Jacques Rancière

Apa itu Filsafat Pendidikan?

Kelas belajar Filsafat Pendidikan adalah serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Anak Muda Bicara Pendidikan. Kelas Filsafat Pendidikan ini diadakan setiap hari Rabu, selama 7 sesi, dengan tema dan filsuf yang berbeda.

Tulisan ini adalah catatan personal yang kubuat untuk mengkristalkan pengertian dan pengetahuan yang kudapatkan dari kelas Filsafat Pendidikan kemarin. Karena itu mohon dimaklumi kalau misalkan ada yang tidak sesuai atau ternyata malah salah sama sekali, mohon saran maupun koreksinya. ^o^

Tujuan Filosofi Pendidikan Platon

Filosofi pendidikan Platon berasal dari kebutuhan atas seorang pemimpin yang bijaksana, Filsuf Raja. Platon menganggap bahwa solusi dari segala masalah besar adalah Paideia (pendidikan). Lewat pendidikan ini Platon menginginkan sebuah “reformasi moral” yang penting untuk menjalankan cara berpolitik yang baru.

Menurut Platon, untuk mendidik seorang raja yang baik dan bijaksana diperlukan pengontrol dan pengarahan hasrat. Ada tiga hasrat yang disebutkan oleh Platon, Epithumia (perut), Tumos (dada), dan Rasio (otak). Ketiga hasrat inilah yang membentuk manusia. Menurut filosofi Platon, fungsi pendidikan pada masa kecil adalah untuk membentuk dan mengarahkan hasrat-hasrat ini agar mereka bergerak menuju kebaikan. Hasrat itu bagaikan tanah liat atau lilin yang masih lembek, semakin tua akan semakin mengeras.

Implementasi

Ada empat jenjang pendidikan dalam pemikiran Platon. Tiga jenjang pertama diadakan untuk mengontrol dan mengarahkan ketiga hasrat yang sebelumnya.

  • Kanak-kanak sd. 10thn
    Mendidik Epithumia, hasrat akan makan, minum, dan seks (uang). Selama 10 tahun pertama kehidupannya, sang anak akan didorong untuk belajar tentang cerita, mitos, puisi, teater yang dilandasi teologi yang lurus.
  • Remaja sd. 20thn
    Mendidik Tumos, hasrat akan emosi, harga diri, dan malu. Mulai usia 10 hingga 20 tahun, sang anak belajar sport, tarian, kegiatan di luar, dan berlatih keberanian seperti para prajurit di medan tempur. Proses ini dilakukan bukan untuk membuat tubuh yang bagus, bukan untuk mencetak atlet, namun untuk mengetahui limitasi tubuh.
  • Dewasa sd. 35thn
    Mendidik Rasio, hasrat akan pemikiran intelektual. Hingga usia 35 tahun, berbagai pendidikan rasional dan ilmu teoritis seperti matematika, astronomi dan dialektika sang anak dipertajam.
  • Masa Matang sd. 50thn
    Praktik lapangan selama 15 tahun dengan cara memegang jabatan-jabatan sipil.

Namun sebelum sampai ke empat jenjang pendidikan ini, Platon percaya bahwa seorang calon filsuf raja harus memenuhi empat kriteria. Mereka yang tidak cocok pada kriteria ini tidaklah layak untuk menjadi seorang filsuf raja. Empat kriteria itu adalah:

  • Cinta pada pengetahuan tentang hal-hal kekal
  • Cinta pada pengetahuan menyeluruh
  • Cinta pada apa yang benar
  • Karakter alamiah yang: just, gentle, quick to learn, good memory

Latar Belakang

Untuk mengerti alasan pemikiran Platon, kita perlu melihat sejarah dan kehidupan sosial Platon. Platon adalah seorang guru besar di salah satu akademi paling berjaya pada jamannya. Dia adalah seorang guru yang tugasnya mendidik raja bijaksana agar dapat menyelesaikan dan menemukan solusi untuk berbagai masalah politik di masanya.

Platon memberikan kritik atas sistem demokrasi yang berjalan di Athens. Dia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah rezim yang prinsip utamanya adalah kebebasan untuk memenuhi hasrat masing-masing individu, tanpa memikirkan bonum commune (kebaikan bersama). Dia menyatakan bahwa rezim demokrasi akan selalu menciptakan kaum timokrat (kehormatan, kekayaan, kompetensi) yang akan berubah menjadi sebuah oligarch (kekuasaan yang terkonsentrasi pada sedikit orang) yang menciptakan kesenjangan. Ketika kesenjangan sudah sangat terasa, masyarakat miskin akan melakukan revolusi yang menciptakan sebuah rezim anarki, sebelum akhirnya dikontrol oleh sebuah iron fist, rezim tirani.

Catatan Personal

Sebagai filsuf pembuka dari kumpulan kelas terbuka ini, Platon memberikan pemikiran-pemikiran yang sangat menarik untukku. Secara personal, aku merasa bahwa Platon adalah seorang elite yang tidak memikirkan tentang 98% orang yang mungkin tidak cocok pada kerangka filsuf rajanya, dan itu sangatlah masuk akal. Dia adalah seorang guru yang menyiapkan sebuah pemimpin yang bijaksana, bukan seorang guru yang harus memperbaiki pendidikan satu negara.

Karena itu implementasi filosofi pendidikan Platon bukanlah untuk semua orang, dan tidak cocok di terapkan di jaman now karena pendidikan diera sekarang terbuka untuk semua orang dan bukan hanya untuk mencetak penguasa saja. Ide untuk menjaga dan membimbing hasrat Epithumia dan Tumos adalah ide yang sangat bagus dan masuk akal, namun time frame yang diberikan Platon sangatlah tidak masuk akal di dunia yang berkembang cepat saat ini.

Namun dari semua itu, salah satu hal yang bisa kuserap adalah untuk sampai ke “filsuf raja” atau kebijaksanaan ini, hasrat Epithumia dan Tumos-nya harus sudah selesai dan mengarah ke hal yang baik. Hanya setelah kedua hasrat itu bisa dikontrol, maka Rasio dapat bekerja dengan optimal.

Related Posts