Filsafat Pendidikan: Jacques Rancière

“To explain something to someone is first of all to show him he cannot understand it by himself.”  – Jacques Rancière, The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation

Rabu (14/2) lalu aku melanjutkan kembali seri belajar “Kelas Filsafat Pendidikan” yang diadakan di Studio Sang Akar. Tema pertemuan kedua ini adalah “Filosofi Pendidikan Jacques Rancière”. Materi kelas ini dibawakan oleh Romo A. Setyo Wibowo (Dosen STF Driyarkara).

Catatan Kelas Sebelumnya: Filosofi Pendidikan: Platon

Apa itu Filsafat Pendidikan?

Kelas belajar Filsafat Pendidikan adalah serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Anak Muda Bicara Pendidikan. Kelas Filsafat Pendidikan ini diadakan setiap hari Rabu, selama 7 sesi, dengan tema dan filsuf yang berbeda.

Tulisan ini adalah catatan personal yang kubuat untuk mengkristalkan pengertian dan pengetahuan yang kudapatkan dari kelas Filsafat Pendidikan kemarin, karena itu mohon dimaklumi kalau misalkan ada yang tidak sesuai atau ternyata malah salah sama sekali, mohon saran maupun koreksinya. ^o^

Tujuan Filosofi Pendidikan Jacques Rancière

Sebagian besar filosofi pendidikan Rancière didasarkan dari cerita Joseph Jacotot, seorang guru yang hidup di tahun 1770-1840. Diskusi hanya berjalan selama 2 jam sehingga aku kurang pasti bagian mana yang merupakan pemikiran Rancière sendiri dan bagian mana yang pemikiran Jacotot.

Filosofi pendidikan Rancière adalah sebuah kritik dan antithesis dari pendidikan modern yang menjanjikan emansipasi (kebebasan dan kesetaraan) dan membutuhkan transfer ilmu dari guru ke murid yang tidak tahu. Ketika kita bersekolah kita dijanjikan bahwa dengan mengikuti sistem ini suatu saat nanti kita akan setara dengan guru, pejabat, dan pekerja lainnya. Namun pada realitanya akan selalu ada jenjang berikutnya yang menghambat kita dari emansipasi tersebut (SMA ada S1, S3 ada Rektor, Pegawai ada Bos, dan seterusnya).

Rancière menyatakan di bukunya, “Le Maître ignorant” (The Ignorant Schoolmaster), bahwa pendidikan tidak boleh menjanjikan emansipasi, tapi pendidikan itu seharusnya bermula dari emansipasi. Beliau juga menyatakan bahwa guru yang paling baik adalah guru yang tidak tahu apa-apa karena dengan itu tidak ada proses transfer ilmu dari guru ke murid yang tidak tahu (karena murid sudah teremansipasi). Rancière menyebut sistem ini sebagai Pendidikan Universal Alamiah.

Implementasi

Dalam implementasi Pendidikan Universal Alamiah, tidak ada yang namanya guru. Peran guru digantikan oleh seorang fasilitator yang memastikan murid menjalankan proses belajarnya dan memverifikasikan prosesnya. Tidak ada proses mentransfer pengetahuan sehingga diperlukan sebuah kehendak belajar yang kuat dari sang murid yang ingin mempelajari sesuatu. Menurut Rancière, proses belajar adalah proses menterjemahkan materi ke bahasa sendiri dan pengetahuan tidak sepenting proses belajarnya.

Salah satu contoh Pendidikan Universal Alamiah adalah pengalaman Joseph Jacotot yang mengajar Bahasa Perancis di University of Louvain kepada murid Belanda yang ingin belajar Bahasa Perancis. Menariknya, Jacotot tidak bisa berbahasa Belanda, sehingga dia menyuruh muridnya (lewat penerjemah) untuk membaca buku “Telemaque” yang diterbitkan dwi-bahasa (Perancis-Belanda) dan belajar dengan membaca bagian Bahasa Perancis, lalu melihat artinya di dalam Bahasa Belanda. Jacotot tidak bisa berbahasa Belanda maka dia tidak bisa melakukan transfer pengetahuan dari guru kepada murid yang tidak tahu.

Jacotot tidak berharap banyak pada keberhasilan muridnya ketika mengerjakan tugas yang dimintanya. Pasti akan banyak salah tulis, barbarism (penulisan dan penggunaan bahasa yang salah), dan berbagai kekeliruan lain. Namun Jacotot terkejut ketika menyaksikan muridnya yang mempelajari Bahasa Perancis hanya melalui buku dwi-bahasa, ternyata dapat membuat kalimat dalam Bahasa Perancis yang tepat.

Pengalaman Jacotot itu memberikan inspirasi pada Rancière bahwa jika murid memiliki kehendak belajar yang kuat dan ada seorang fasilitator yang HANYA memastikan murid menjalankan proses belajarnya dan memverifikasi prosesnya, semua orang bisa memiliki level intelektual yang sama.

Latar Belakang

Walapun di pertemuan ini Romo Setyo hanya membicarakan tentang filosofi pendidikan Rancière, sebenarnya Rancière memiliki banyak pemikiran lain di ranah politik dan seni. Hampir semua pemikiran Rancière memiliki tema yang sama, kesetaraan adalah sebuah titik tolak bukan tujuan.

Buku Rancière yang terkenal adalah “Disagreement: on politics and aesthetics” yang mengungkapkan pendapat Rancière bahwa politik adalah dissensus bukan consensus. Selain itu ada buku “Aesthetic Unconscious“ yang membicarakan tentang hilangnya benang merah dalam sastra modern. Dari buku ini beliau dikenal lebih luas soal kajian-kajian estetikanya

Catatan Personal

Terus terang aku sendiri agak kesulitan untuk menulis catatan ini, mostly karena kekurangpahaman ku terhadap filosofi dan pemikiran Rancière. Mungkin kalau dibahasakan dengan filosofi Rancière, aku belum bisa menerjemahkan materi ke dalam bahasaku sendiri 😛

Sayangnya, Pendidikan Universal Alamiah yang didorong oleh Rancière bukanlah sesuatu yang bisa dimasukkan ke dalam sebuah sistem massal. Menurut Rancière, tepat ketika Pendidikan Universal Alamiah dimasukkan ke dalam sistem, dia akan berubah menjadi alat untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

Hal yang aku suka dari filosofi pendidikan Rancière adalah beliau menunjukkan bahwa tidak hanya guru yang bisa membantu pembelajaran. Bahkan guru yang tidak tahu pun bisa membantu memfasilitasikan kehendak belajar murid.

Foto bersama Romo Setyo setelah acara selesai

Related Posts