Filsafat Pendidikan: John Dewey

“The problem of education in a democratic society is to do away with … dualism and to construct a course of studies which makes thought a guide of free practice for all and which makes leisure a reward of accepting responsibility for service, rather than a state of exemption from it.”John Dewey, Democracy and Education, Section 19: Labor and Leisure

Rabu (28/2) lalu aku melanjutkan kembali seri belajar “Kelas Filsafat Pendidikan” yang diadakan di Studio Sang Akar. Tema pertemuan keempat ini adalah “Filosofi Pendidikan John Dewey”. Materi kelas ini dibawakan oleh Bagus Takwin (Dosen Fakultas Psikologi UI).

Catatan Kelas Sebelumnya: Filosofi Pendidikan: Ivan Illich

Apa itu Filsafat Pendidikan?

Kelas belajar Filsafat Pendidikan adalah serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Anak Muda Bicara Pendidikan. Kelas Filsafat Pendidikan ini diadakan setiap hari Rabu, selama 7 sesi, dengan tema dan filsuf yang berbeda.

Tulisan ini adalah catatan personal yang kubuat untuk mengkristalkan pengertian dan pengetahuan yang kudapatkan dari kelas Filsafat Pendidikan dan hasil riset personal dari internet. Karena itu mohon dimaklumi kalau misalkan ada yang tidak sesuai atau ternyata malah salah sama sekali, mohon saran maupun koreksinya. ^o^

Tujuan Filosofi John Dewey

John Dewey menyebut dirinya seorang Instrumentalis bukan Pragmatis. Walaupun mirip, Instrumentalisme lebih memfokuskan pada gagasan yang menganggap bahwa ide atau alat bisa digunakan untuk mencapai sebuah hasil.

Dewey menyatakan bahwa hanya di pendidikan, sebagian besar pengetahuan dihitung sebagai simpanan informasi yang tidak pernah dipraktekkan. Di dunia nyata kehidupan seorang petani, pelaut, pedagang, maupun ilmuwan, pengetahuan adalah paduan antara informasi dan praktek. Beliau percaya bahwa pendidikan itu tidak terpisahkan dari kehidupan, cara utama manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan respon adaptif terhadap lingkungan sekaligus merestrukturisasi lingkungan secara aktif.

Filosofi pendidikan Dewey bermula dari keseharian. Cara paling baik anak belajar adalah lewat pengalaman. Perlu dicatat bahwa Dewey mengatakan bahwa tidak semua pengalaman bersifat edukatif. Ada pengalaman yang pasif, baik maupun buruk, tapi tidak edukatif. Menurut Dewey, pengalaman yang edukatif adalah pengalaman di mana murid membuat sebuah koneksi antara hal yang dilakukan (the things we do) dengan konsekuensi dari yang dilakukan. Beliau percaya bahwa dengan sistem learning by doing (belajar dengan melakukan), murid dapat mengembangkan kemampuan problem-solving mereka dan menggunakan pengalaman ini di masa depan.

Pada saat bersamaan Dewey mengecam keras konsep pendidikan vokasi (kejuruan) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. Murid-murid yang mengikuti pendidikan vokasi dapat terjebak mempersiapkan diri untuk sebuah pekerjaan yang memenjarakan mereka selama hidupnya. Beliau mengatakan bahwa pendidikan vokasi membuat murid memilih sebuah pekerjaan spesifik yang dalam 10 tahun mendatang mungkin sudah tidak ada. Menurut Dewey, persiapan untuk vokasi seharusnya tidak langsung, melainkan melalui keterlibatan dalam pekerjaan tersebut yang disesuaikan dengan keinginan dan ketertarikan murid pada waktu tersebut.

Implementasi

John Dewey menyatakan bahwa belajar adalah proses intervensi dari sebuah keadaan nyata, belajar harus ada hasilnya di dunia nyata. Beliau memberikan beberapa cara sekolah bisa mengintegrasikan filosofi ini di lingkungannya:

  1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara perorangan.
  2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman.
  3. Guru memberikan dorongan semangat dan motivasi bukan hanya pemerintah.
  4. Guru melibatkan siswa dalam berbagai aktivitas kehidupan belajar di sekolah yang mencakup pengajaran, administrasi dan bimbingan
  5. Guru memberi arahan dan bimbingan sepenuhnya agar siswa menyadari bahwa hidup itu dinamis dan mengalami perubahan begitu cepat.

Latar Belakang

John Dewey adalah seorang filosofer Amerika yang mendorong Progressive Education di akhir abad ke-19. Beliau telah menulis beberapa buku dalam ranah pendidikan seperti Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1900), The Child and the Curriculum (1902), Democracy and Education (1916) dan Experience and Education (1938). Selain pendidikan, beliau juga terkenal di dunia Functional Psychology dan memiliki buku di bidang epistemology, metaphysics, aesthetics, seni, logika, social theory, and etika.

Dewey juga dikenal soal keberpihakannya terhadap demokrasi. Beliau menganggap dua dasar penting, sekolah dan masyarakat, sebagai topik yang butuh perhatian dan rekonstruksi untuk mendorong keberagaman dan pengetahuan baru. Dewey menegaskan untuk mencapai demokrasi sempurna dibutuhkan opini publik yang sadar dan lengkap melalui komunikasi antara rakyat, ahli, dan politikus.

Catatan Personal

Terus terang aku merasa diskusi kali ini agak kurang memuaskan dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya. Kalau catatan-catatan sebelumnya aku hanya googling untuk memastikan pengertianku benar, kali ini banyak sekali hal baru yang aku pelajari ketika mencari tahu tentang John Dewey.

Pertemuan kali ini juga menandakan pertama kalinya aku berhasil meracuni mengajak teman-teman OASE yang lain untuk ikut kegiatan filsafat pendidikan kali ini. Ada Kaysan, Katya, Kak Shanty dan Kak Opal yang ikut kegiatan kali ini. Semoga mereka gak kapok dan pengen ikut lagi minggu depan 😀

Related Posts