OASE Eksplorasi: Home Industry, Borobudur, Masalah Sepeda?

Oh woooow….. adalah kata yang sering sekali terucap dari mulutku selama beberapa hari mengelilingi berbagai “Home Industry” yang ada di sekitar Dusun Maitan.

(Sebelumnya:  Menuju Dusun Maitan)

Jalan-jalan di sekitar Dusun Maitan
Jalan-jalan di sekitar Dusun Maitan

Hal yang dicari

Salah satu hal yang sangat ditekan oleh Kak Shanty sebelum berangkat adalah untuk fokus kepada merasakan dan memahami sedalam mungkin, jangan fokus ke kamera. Kami juga mendapatkan tiga step yang sangat penting: Amati – Tanya – Catat.

  1. Amati setiap hal dengan seluruh panca indera dan rasakan dengan hatimu.
  2. Tanyakan segala hal yang muncul di benakmu pada orang-orang yang kamu temui.
  3. Catat dalam logbook/jurnal apa yang diamati, siapa orang yang ditemui, kejadian yang dialami, serta kesan perasaanmu selengkap mungkin. Catatan dalam logbook/jurnal merupakan bahan untuk mengingat saat menceritakan kembali pengalaman yang didapat dari perjalanan.

Nira

Pagi hari Rabu (14/12/2016) sebelum searapan, sekitar pukul enam pagi aku dan fattah kumpul di Gatotkoco untuk pergi melihat pak Muhajir mengambil Nira (Getah Kelapa). Nira itu adalah getah dari Bunga Kelapa yang di ambil pakai arit dan ember kecil. Pak Muhajir sudah melakukan ini semenjak umur 14-an tahun.

Ketika awal mengaproach pak Muhajir sebagian besar dari kami terpaku melihat pak Muhajir yang memanjat pohon kelapa tanpa pelindung dengan dua ember kosong dan sebuah arit di tangan yang satunya lagi. Akhirnya kami memberanikan diri untuk bertanya, mulai dari sejak kapan, caranya gimana dan berbagai hal yang lain.

Mewawancarai Pak Muhajir seputar pembuatan Gula Jawa
Mewawancarai Pak Muhajir seputar pembuatan Gula Jawa

Pak Muhajir setiap hari mengambil Nira dari 7 pohon, tiga di dalam desa dan empat di luar desa. Katanya pak Muhajir Nira itu banyaknya selama musim kemarau dan hasilnya bisa jelek kalau musim hujan karena tercampurnya air hujan. Setelah Niranya di ambil semuanya dibawa oleh pak Muhajir ke rumah untuk dimasak oleh istranya bu Kusnia.

Pembuatan gula merah dari Nira memakan waktu kurang lebih setengah jam per pohon. Dalam sehari bu Kusnia bisa membuat sekitar 15 kilogram gula merah yang dijual Rp 15 ribu per kilogram. Biasanya gula merah ini dijual ke warung-warung yang ada di sekitar Desa Maitan.

Setelah melihat hal ini aku merasa… gimana ya… sedih, kasihan dan pengen membantu sebisanya namun bingung bagaimana caranya. Anak pak Muhajir tidak ada yang mengikuti jejaknya maka jika pak Muhajir sudah tiada, maka pengetahuan cara mengambil nira dan semuanya akan hilang. Katanya Muhajir dulu banyak pengrajin Nira dan gula merah, namun semenjak berjalannya waktu hanya tinggal pak Muhajir yang masih menjadi pengrajin Nira di daerah Dusun Maitan.

Akhirnya aku dan Kaysan sebagai tanda terima kasih membeli satu kilo gula jawa dari bu Kusnia dan pak Muhajir. Tadinya sempat terpikir hanya untuk memberikan uang kepada pak Muhajir, namun aku merasa kalau hanya uang terlihat seperti merendahkan. Seperti menunjukan bahwa kami punya lebih banyak uang dari mereka, padahal niat awalnya adalah untuk mengapresiasi pekerjaan pak Muhajir dan bu Kusnia dengan cara membeli barang dagangan mereka.

Mewawancarai bu Kusnia sambil melihat proses pembuatan gula jawa
Mewawancarai bu Kusnia sambil melihat proses pembuatan gula jawa

Setelah kami mengunjungi tempat pak Muhajir kami pulang ke homestay masing-masing. Untuk sarapan hari ini aku dan Fattah makan Gudeg, Tempe & sambal lombok. Kami mengobrol banyak tentang kehidupan ibu Rubinga, kegiatannya di Masjid, dan kesehatan pak Sasmudi yang baru sehat stroke.

Peyek, Tempe & Mebel

Setelah sarapan dan mandi kami kumpul lagi di homestay Gatotkoco untuk melakukan diskusi singkat dan penjelasan tugas yang akan dijalankan hingga sekitar pukul setengah sebelas. Setiap tim akan memencar untuk mencari dan mewawancara sebuah home industry yang ada di sekitar Dusun Maitan. Jika ditempat yang ingin diwawancara sudah ada kelompok lain, kelompok yang baru datang harus antara menunggu atau pergi mencari bahan wawancara lain sampai kelompok yang sekarang sudah pergi.

Ada tiga tempat yang di sarankan oleh kakak-kakak fasilitator, tempat Peyek, Tempe, dan Criping. Namun karena keterbatasan waktu kelompokku hari ini tidak sempat untuk pergi ke tempat criping. Tempat yang pertama kelompokku kunjungin adalah tempat Peyek, tempatnya ibu Kristiati.

Peyek

Tempat pembuatan peyek ibu Kristiati tidak terlalu besar, sekitar 1 kali 4 meter persegi dengan perkarangan yang lebih besar untuk bebek, ayam, dan kambing. Bu Kristiati sudah membuat peyek semenjak beliau menikah, dan beliau ternyata belajar sendiri. Di sini bu Kristiati membuat tiga jenis peyek, ada peyek tempe, kacang dan bayem. Seharinya bu Kristiati membeli tempe sejumlah Rp 100 ribu untuk modal. Semua bahan baku yang dipakai oleh bu Kristiati di dapat dari Pasar Borobudur.

Selanjutnya aku berniat untuk pergi ke tempat Criping karena ternyata yang punya adalah sodaranya bu Kristiati, namun karena masih ada kelompok lain kami pergi dan mencari tempat lain. Karena tidak tahu tempat home industry tempe dimana kami berjalan sambil bertanya ke penduduk sekitar ada home industry apa lagi. Setelah berjalan sedikit kami menemukan sebuah home industry, tapi bukan yang kami cari.

Mebel & Ternak Sapi

Tema dari perjalanan ini adalah “Makanan”. Kami disini datang untuk mencari lebih banyak tentang proses makanan menuju Jakarta dan jenis pangan lokal yang ada di desa, karena itu home industry yang di cari lebih ke tipe makanan. Namun karena mungkin aku belum merasa “sreg” sama tempat dan kondisinya aku agak pelan untuk bertanya sedangkan Yla dan Fattah sebagian besar waktu hanya mengikuti aku saja 😛

Maka sebagai tes, aku sendiri memilih untuk berputar dan mencari apa yang menurutku menarik dulu untuk mendapatkan “soul” dari wawancara. Lalu ketika keliling aku melihat ada sebuah home industry mebel yang sedang bekerja. Aku berniat untuk bertanya-tanya sedikit tentang kegiatannya, namun karena aku ingat bahwa tema kami itu makanan, aku merasa bahwa “Ah nanti aja deh kalau sudah waktu luang” dan jalan kembali ke arah homestay.

Kayu yang digunakan untuk mebel dan tanah baru untuk peternakan sapi potongKayu yang digunakan untuk mebel dan tanah baru untuk peternakan sapi potong

Iya gapapa gak sekolah yang penting pinter – Pak Rumiyadi

Tepat di samping home industry mebel kami disapa oleh seorang bapak-bapak yang menyapa dan bertanya kami dari mana. Setelah melakukan perkenalan dan berbincang dikit, ternyata bapak ini adalah pemilik dari home industry mebel yang ada disebelah. Di samping rumahnya ada kandang sapi dan karena sudah mulai berbincang aku merasa “why not” dan mulai berbincang-bincang tentang peternakan sapinya.

Nama bapak ini adalah Pak Rumiyadi, beliau mendirikan home industry mebel pada tahun 2002 tanpa karyawan. Sekarang Pak Rumiyadi sudah tidak bekerja di mebel karena sudah ada 6 karyawan tetap dan 10 karyawan putus sambung yang mengerjakanannya. Sekarang kegaitan utamanya adalah ternak sapi daging di samping rumahnya. Aku baru tahu ternyata sapi daging itu lumayan susah dan mahal untuk di pelihara. Kata Pak Rumiyadi harga sapi yang premium bisa sampai 25 juta, namun harga itu dikurangi sekitar 1 juta per bulan untuk makan. Kalau misalkan sapi biasa yang harga jualnya sekitar 15 juta-an, bisa dilihat bahwa untungnya tidak besar.

Yang aku kagum dari Pak Rumiyadi adalah bagaimana beliau selalu menghitung kedepan dan memiliki berbagai rencana untuk memperluas bisnisnya. Dulu pernah sekitar tahun 2010 katanya ada teman Pak Rumiyadi yang datang dari Jakarta membawa blueprint untuk mesin biogas. Setelah membaca blueprintnya, Pak Rumiyadi mencoba dan berhasil membuat mesinnya! WOW!! Sayangnya karena biaya untuk membuat mesin biogas yang benar-benar berfungsi dengan baik. Sayangnya karena modal yang dibutuhkan untuk membuat mesin yang bisa menghasilkan biogas yang cukup banyak terlalu mahal, maka Pak Rumiyadi menunda pembuatan biogas.

Sekarang Pak Rumiyadi sedang mengumpulkan uang untuk memindahkan kandang sapi yang didekat rumahnya dengan tanahnya yang lebih besar di dekat sawah. Satu quote yang aku ingat dari Pak Rumiyadi adalah “Gapapa gak sekolah yang penting pinter” :v

Mewawancarai pak
Mewawancarai pak Rumiyadi

Tempe

Setelah selesai mengobrol dengan Pak Rumiyadi kami berjalan keliling lagi untuk mencari home industry terakhir dan kami bertemu dengan Kak Kukuh yang mengikuti kami. Kami bercerita sedikit tentang home industry yang telah kami kunjungi dan kak Kukuh bertanya apakah kami sudah ketempat tempe atau belum? Karena kami belum dan masih ada waktu untuk berkunjung kami mengikuti kak Kukuh.

Kami ditunjukan jalan ke tempat tempe yang ada di dekat kolongan (tempat balapan merpati), kurang lebih 5 menit dari homestay Gatotkoco. Di sana kami bertemu dengan bu Ibu Mariuni. Bu Mariuni adalah pengerajin tempe yang sudah membuat tempe sejak menikah dengan almarhum suaminya dan sekarang membuat tempe dari sekitar 4kg kedelai per hari yang dibeli di pasar.

Proses penjamuran tempe. Right to left: Satu hari, dua hari, tiga hari, lima hari, tujuh hari.
Proses penjamuran tempe. Right to left: Satu hari, dua hari, tiga hari, lima hari, tujuh hari.

Yang sangat menarik perhatianku adalah seberapa murah tempenya, Rp. 1.000 untuk 5 tempe kecil. 4kg kedelai itu bisa dipakai untuk membuat sekitar 300 pack. Kalau misalkan sehari bu Mariuni beli 4kg kedelai dengan harga 40ribu dan daun pisang dengan harga 1rb per set daun pisang, maka jika semuanya terjual bu Mariuni akan mendapatkan uang kotor 60 ribu. Belum jika dikurang harga kedelai dan daun pisang… Sebuah situasi yang membuat aku sangat prihatin, tapi bingung bagaimana cara membantunya. Akhirnya karena melihat waktu yang sudah mau mendekati pukul 10:30 aku pamit setelah membeli tempe sejumlah 5 ribu.

Massssss…….

Adalah suara yang aku dengar ketika aku sedang berkumpul dengan teman-teman untuk menuju kebun Pak Naim. Ternyata yang menyapa adalah Haikal, cucu dari bu Rubinga pemilih homestay yang aku tinggali. Dia memanggil karena ternyata dia ingin main :P. Aku bilang ke Haikal,

Yudhis: Kita mau tempat singkong haikal, emang kamu berani jalan jauh?

Haikal: Haikal berani kok!

Yudhis: Bener nih ya?

Haikal: Iyaaaaaaa!

dan akhirnya Haikal ikut sebagai anggota tambahan eksplorasi ketika ingin ke kebun pak Naim. Selama perjalanan aku jalan dibelakang bersama haikal dan mengobrol kecil dan tiba-tiba…. Haikal berhenti… aku tanya kenapa? mau ikut gak? dan dia hanya menjawab. Moh. MOH!

Setelah menenangkan Haikal sedikit dia akhirnya bilang, bahwa dia takut sama kerbau yang ada di pinggir jalan 😛 dan minta pulang. Karena aku yang menjaga Haikal, maka aku memisah dari grup dan pergi menemani Haikal pulang.

Badai di kebun singkong pak Naim

Setelah mengantarkan Haikal pulang, aku mengejar teman-teman lain yang sudah sampai di kebun pak Naim. Sayangnya karena aku agak nyasar dikit maka aku tidak bisa dapat banyak dari sini. Aku ketinggalan sebagian besar penjelasan dan hanya mendapat kesempatan untuk “Merusak” singkong pak Naim. Ternyata memetik singkong tidaklah mudah, lumayan berat, dan ada teknik khususnya supaya lebih mudah. Misalkan teknik untuk membuka kaki agak lebar agar umbinya tidak terinjak, nariknya dari belakang lalu nunduk, dan beberapa yang lain.

Ketika sebagian besar singkong sudah di angkat kami memotong singkong dari batangnya dan memasukannya kedalam karung. Prosesnya tidak terlalu sulit, pak Naim memotongnya dengan golok namun karena aku tak sabar untuk memotong aku mencoba untuk mematahkannya dengan tangan. Suprisingly easy… ketika aku sudah tau caranya…. plus aku kuat :P.

Yang berkesan adalah setelah itu… taman kebun pak Naim terlihat seperti telah termakan badai 😛 Maaf ya pak Naim…

Memanen singkong di kebun pak Naim
Memanen singkong di kebun pak Naim

Borobudur here we go… or not

Setelah dari kebun pak Naim, kami pergi untuk makan dan diskusi di rumah Pak Pudin. Untuk makan siang aku makan lompang, talas, ayam goreng, terong, tempe dan sayur gori. Kami berdiskusi dan membicarakan tentang semua yang telah kami lihat, dan mendapatkan masukan-masukan dari kakak pembina. Kami juga membicarakan tentang kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya yaitu… Borobudur!

Makan siang di tempat pak Pudin
Makan siang di tempat pak Pudin

Untuk menuju ke Borobudur kami harus mengambil sepeda dulu lalu naik sepeda menuju Borobudur. Aku langsung merasa “GLEG” siap siap sepedaan yang bener-bener di jalan raya. Untuk yang belum tahu aku itu tidak bisa naik sepeda dan baru belajar lagi cara naik sepeda sekitar dua minggu sebelum keberangkatan (itu juga gak rutin). Kami mengambil sepeda di tempat Pak Dodo dan melakukan stretching untuk memanaskan badan.

On the way ke Borobudur, sebuah set kejadian yang membuatku hampir membenci sepeda terjadi. Pertama ketika aku mau mengganti gigi (aku baru belajar cara ganti gigi) giginya copot… Ok aku teriak ke Zaky yang ada di depan untuk berhenti karena aku tidak bisa lanjut. Untungnya Zaky sudah biasa main sepeda jadi dia bisa membetulkan giginya (thx jak). Sudah diperbaiki, aku jalan lagi, tiba-tiba bunyi “krekkrekkrekkrekkrek” setiap kali aku mengayuh…. ok panggil lagi Zaky yang ada di depan. Di betulkan lagi… tapi tetap saja bunyi. Akhirnya karena sudah nyerah aku menelpon kakak pembina untuk memberitahu bahwa sepedaku rusak.

Setelah menelpon aku mencoba lagi dan… bisa… why… Tapi karena yang lain sudah menunggu maka aku langsung menelpon kakak-kakaknya bahwa aku sudah bisa lagi. Jalan sekitar 20 meter dan tiba-tiba aku kehilangan kontrol dan hampir saja masuk ke jurang… telat sedikit pasti aku masuk jurang… Whoooooohhhhh….

Pemanasan sebelum bersepeda dipimpin oleh atlit wushu Yla
Pemanasan sebelum bersepeda dipimpin oleh atlit wushu Yla

Borobudur!

Setelah semua masalah dengan sepeda terlewat, kami lanjut menyusuri jalan menuju Borobudur. Pengalaman bersepeda hari ini lumayan buruk tapi aku agak senang karena bisa mengikuti teman-teman tanpa kesulitan. Setelah sampai kami parkir di tempat parkir dan masuk kedalam area Borobudur.

Di dalam ternyata penuh sekali dengan anak sekolahan dan mahasiswa yang datang. Ketika bertemu dengan kakak-kakak fasilitator kami diberikan pilihan, untuk lanjut dengan banyaknya orang yang ada disini, atau untuk pulang dan melakukan diskusi saja. Karena melihat hiruk pikuk yang sangat penuh, padahal kami datang untuk mempelajari Borobudur, kami memilih untuk pulang saja dan berdiskusi.

Ada satu hal yang aku inget ketika mau balik ke tempat parkir sepeda, ketika Zaky sedang memberi tahu Andro cara menolak jualan di Borobudur dengan bahasa jawa halus untuk menunjukan bahwa kami orang lokal.

Zaky: Eh jadi kalo kita mau nolak, kita tinggal bilang aja “Mboten”. Itu bahasa jawa halusnya untuk nolak.

Andro: Oh okokok

Pedagang: Dek, dek, mau gak nih dek, murang lho (ke Andro)

Andro: MBOTEN! (kayak ngebentak)

Pedagang: oh iyaa (pergi)

Zaky: Eh ndro itu tuh bahasa halus lu ngapain kayak orang ngebentak 😀

Foto bareng dengan kerumunan orang yang mau masuk :D
Foto bareng dengan kerumunan orang yang mau masuk 😀

Gaya-gaya

Dalam perjalanan pulang kami diberi tahu bahwa ada sebuah spot tidak jauh dari Borobudur dimana kami bisa foto-foto dan melihat ujung Borobudur. Bersepeda sekitar 5-10 menit dan kami sampai ke lokasinya dan WAAAAW…. sebuah pemandangan yang indah tergeletak di sekitar kami. Tentu saja tidak ingin kehilangan momen maka aku mengajak mereka untuk foto-foto dengan Borobudur (ujung atasnya doang).

Tentu saja ada beberapa yang fotonya agak… ya… dilihat aja deh fotonya, bagus kok 😛

Gila-gilaan - Credit Zaky
Gila-gilaan – Credit Zaky

Setelah foto-foto kami lanjut jalan kembali menuju Dusun Maitan, dan sayangnya kami nyasar (salah Kaysan :P) dan lumayan jauh nyasarnya. Ketika mau mutar balik Kaysan malah masuk ke restoran “Stupa Pelataran” dan diusir sama satpamnya :P.

Ketika sudah mau sampai, kami bertemu dengan kakak-kakak fasilitator dan diberi tahu bahwa ada beberapa petani yang sedang di sawah dan mungkin kami bisa bertanya-tanya. Selagi semuanya bertanya-tanya, aku merasa ada beberapa pertanyaan yang sedang melayang dikepalaku maka aku tanyakan ke kak Kukuh. Aku bertanya tentang bagaimana cara pemerintah membuat berbagai jenis makanan pokok yang kita miliki hampir hilang semua, lalu kenapa beras ditanam demikian, apakah ada cara yang lebih baik, bagaimana cara mengembangkan berbagai makanan pokok yang kita punya?

Banyak sekali yang dijawab dan sayangnya karena aku fokus mempelajari dan mendengarkan aku lupa mencatat Hehehe 😛

Mempelajari cara men"dangir" dari bu Marsinah.
Mempelajari cara men”dangir” dari bu Marsinah.

Diskusi Malam

Setelah selesai mewawancarai bu Marsinah kami pulang ke Dusun Maitan untuk melakukan diskusi malam yang lumayan panjang. Tentu saja sepedaku mengalami kejadian lagi, masuk comberan, ketika dalam perjalanan ke rumah pak Pudin. Di sinii kami mengobrol tentang semua yang telah kami amati dan pelajari hari ini, lalu membuat sebuah mind map untuk menentukan apa yang akan kami fokuskan selama perjalanan ini.

Setelah banyak mengobrol dengan Kak Melly aku memilih untuk meneliti… SINGKONG! Kenapa singkong? Pertama karena banyak sekali makanan lokal yang ada disini terbuat dari singkong, dan produksi singkong disini juga banyak.

Kami berdiskusi (plus bercanda) sampai sekitar pukul 11 malam dan mataku dalam perjalanan pulang sudah sangatlah lelah… dan ketika sampai di tempat tidur… Zzzzzzzzz

Day3-13
Diskusi hingga larut malam

[Bersambung]

Related Posts